Terinspirasi kisah sesungguhnya tentang Lissa Weinstein, Ph.D mengenai puteranya yang menyandang disleksia, maka dia menulis buku yang berjudul “Living with Dyslexia”. Buku tersebut diterbitkan oleh Penerbit Qanita pada Januari 2008.
Mulanya saya tidak begitu tertarik ingin tahu tentang “Disleksia”, tapi setelah sekian lama saya banyak bergaul dengan beberapa orang yang berkisah mengenai hal ini, maka ketertarikan saya pun muncul begitu saja terutama setelah dikait-kaitkan dengan beberapa hal atau kejadian-kejadian yang … betul ada dan dekat dengan sekitar saya, yaitu yang ada hubungan keluarga dengan saya. Saking penasarannya isi buku itu, karena saya ingin tahu betul apa sebenarnya disleksia, apa penyebabnya dan lain-lainnya, tak terasa saya menitikkan air mata, betapa gundah seorang ibu apabila mempunyai anak menyandang disleksia. Mungkin bukan hanya disleksia yang akhir-akhir ini mulai diperhatikan, jauh sebelumnya yang terkenal zaman saya adalah anak menyandang hyperactive, atau autisme. Namun jika saya membuka pembicaraan dengan teman-teman saya, responnya mereka lebih tahu dan mengenal anak autis dari pada anak disleksia. Lissa Weinstein adalah seorang ibu intelektual dengan memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan psikologi anak harus bergulat melepaskan anak kebanggaannya dari derita kesulitan belajar. Sepertinya ungkapan ini tidak aneh bagi ibu-ibu yang mempunyai anak, kebanyakan memang anak-anak susah untuk disuruh belajar, tapi ini kasus lain. Dan inilah yang menarik untuk saya.
Dari buku itu saya mendapat penjelasan bahwa Dyslexia, berasal dari kata Dys, artinya kesulitan, dan Lexico, artinya berhubungan dengan kata-kata.
Definisi resmi yang sekarang dipakai oleh National Institute of Child Health adalah:
“……salah satu dari beberapa jenis kesulitan belajar yang khas. Disleksia adalah suatu gangguan spesifik berbasis bahasa, yang bersifat bawaan dan ditandai dengan kesulitan mengartikan satu kata tunggal, yang biasanya mencerminkan kemampuan pemrosesan fonologis yang tidak memadai. Kesulitan mengartikan satu kata tunggal ini sering kali tak terduga jika dikaitkan dengan usia serta kemampuan kognitif dan akademis lainnya; kesulitan ini bukanlah akibat dari kesuliitan umum yang berkaitan dengan perkembangan atau kerusakan indra fisik. Disleksia ditunjukkan dengan kesulitan berbeda-beda dalam berbagai bentuk bahasa, yang sering kali mencakup juga, selain masalah dalam membaca, suatu masalah menyolok dalam menguasai keterampilan menulis dan mengeja”. (Lyons, 1996, 34)
Ternyata banyak sekali definisi dari disleksia ini. Dari hasil temuan di seluruh dunia, anak-anak yang menyandang disleksia berkisar antara 5%-10%.
Dalam sebuah studi terbaru yang dilakukan terhadap bayi-bayi yang baru lahir, potensi untuk merespons suku kata ujaran dan bukan ujaran telah berhasil membedakan bayi-bayi yang nantinya setelah 8 tahun akan menunjukkan gejala sebagai pembaca yang buruk, penyandang disleksia, atau normal. Fakta dari penelitian ternyata sebanyak 40% anak-anak disleksia juga punya saudara kandung dengan masalah yang sama. Juga dilaporkan bahwa sekitar 23%-65% anak-anak dari orangtua disleksia juga menyandang disleksia. Jadi kata bawaan mengacu pada fakta bahwa masalah membaca bukanlah akibat dari cedera kepala atau penyakit akut lainnya, melainkan berhubungan dengan garis keturunan yang tidak bisa disembuhkan, bahkan disleksia ini meski pun sudah diajari membaca, tetapi pemrosesan yang kronis akan berlangsung seumur hidup.
Ada satu yang positif dari sifat bawaan ini, yaitu bahwa proses-proses dasar yang menyimpang dapat diketahui sangat dini dengan memerhatikan perbedaan-perbedaan khusus dalam perkembangan si anak. Inilah tanda-tanda yang paling tidak terperhatikan oleh orangtua apa yang sedang berlangsung pada kehidupan anak.
Perubahan-perubahan spesifik pada fungsi otak menimbulkan masalah-masalah pemrosesan fonologis, sejumlah spesimen otak pascakematian semuanya menunjukkan daerah otak (yang disebut dengan istilah Girus angular), yaitu temporo(lobus temporal) - parietal - oksipital kiri  (pelipis - bagian otak samping ke atas - bagian belakang kepala) penyandang disleksia berbeda dengan pembaca normal. Girus angular inilah yang bertindak sebagai jalur dalam pemrosesan dan pengintegrasian informasi dari mata (pandangan) dan telinga (bunyi) yang menjadikan seseorang dapat memahami bahasa tertulis. Karena itu penyandang disleksia tidak dapat disalahkan jika sepanjang hidup kemampuan membaca mereka buruk, karena mereka tidak memiliki satu pun koneksi fungsional dalam girus angular kiri seperti yang ditemukan pada pembaca normal.
Disleksia, akan tetap disleksia dalam bahasa apa pun, tetapi sestem penulisan dalam beberapa bahasa lebih rumit dari pada yang lain, misalnya Bahasa Inggris memiliki 1.120 cara untuk mengeja ke-40 fonemnya, sebaliknya Bahasa Italia, sistem ejaannya jelas dan sederhana, abjad diletakkan pada setiap bunyi ujaran yang dipakai, Orang Italia hanya membutuhkan 33 kombinasi huruf untuk mengeja 25 fonem, hampir tidak ada orang Italia yang diidentifikasikan menyandang disleksia. Bagi anak-anak penyandang disleksia dianjurkan tidak memilih Bahasa Perancis karena bahasa ini peletakan hubungan antara huruf, bunyi ujaran, dan bunyi keseluruhan kata sering kali amatlah tidak jelas.
Terakhir disimpulkan bahwa penyandang disleksia tidaklah bodoh, sekali pun mereka sering merasa seperti itu. Kalau dipikir-pikir, mengartikan itu sendiri sangatlah bodoh. A akan selalu A. Di manaletak imajinasi dalam kenyataan itu: Tidak perlu ada kognisi pada araf lebih tinggi. Kita hanya “terprogram” untuk membaca, atau kita harus diajari untuk melakukannya secara sadar dan dengan latihan, membaca akan menjadi lebih otomatis. Padahal kemampuan mengartikan apa yang tertulis tidak menunjukkan apa pun tentang kepasitas kecerdasan kita atau kapasitas untuk memahami apa yang kita baca.
Diposting oleh aiiu.iOr

0 komentar:

Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates